IKNTimes.Com – Anggota DPR RI, (IKN) pada tahun 2025 menjadi Rp5,04 triliun.
Namun, ia juga menekankan pentingnya evaluasi ulang terhadap proyek ini, mengingat besarnya anggaran yang telah digelontorkan sejak awal pembangunan.
Menurut Bambang Haryo, pemerintah perlu mempertimbangkan beberapa aspek sebelum menetapkan IKN sebagai ibu kota negara dan pusat pemerintahan secara penuh.
Salah satu faktor utama adalah aksesibilitas masyarakat menuju IKN.
Saat ini, mayoritas penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa, di mana sekitar lima juta orang setiap hari beraktivitas di ibu kota Jakarta.
“Selama ini, masyarakat bisa dengan mudah mencapai Jakarta menggunakan berbagai moda transportasi, baik darat, laut, maupun udara. Bahkan, ada yang bisa berjalan kaki ke pusat pemerintahan. Namun, jika ibu kota dipindahkan ke IKN, hanya ada dua moda transportasi yang dapat digunakan, yaitu laut dan udara, yang jumlahnya sangat terbatas,” kata Bambang Haryo, Jumat (14/2/2025).
Ia mengungkapkan kekhawatiran terkait potensi lonjakan biaya perjalanan ke IKN.
Jika diasumsikan ada satu juta orang yang harus bepergian ke IKN setiap hari dengan moda udara yang tarifnya sekitar Rp1,5 juta sekali jalan, maka total biaya harian yang dikeluarkan masyarakat mencapai Rp1,5 triliun.
Untuk perjalanan pulang pergi, anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp3 triliun per hari atau Rp1.095 triliun dalam setahun.
Angka ini belum mencakup biaya akomodasi dan kebutuhan lainnya.
Selain itu, kapasitas infrastruktur transportasi di IKN dinilai masih jauh dari cukup untuk menampung jumlah penumpang yang tinggi. Bandara IKN saat ini hanya mampu melayani sekitar 600 orang per hari, sementara Bandara Balikpapan yang menjadi penunjang utama hanya memiliki kapasitas maksimal 41.100 penumpang per hari. Angka ini masih jauh dari proyeksi kebutuhan transportasi harian yang bisa mencapai 1,5 juta orang.
“Indonesia saat ini hanya memiliki sekitar 480 pesawat dengan kapasitas rata-rata 150 kursi per pesawat. Jika seluruh armada pesawat diarahkan ke jalur Jakarta-IKN, maksimal hanya 72 ribu penumpang yang dapat diakomodasi per hari. Ini tentu tidak sebanding dengan kebutuhan,” tambahnya.
Dari sisi ekonomi, Bambang Haryo menilai bahwa pembangunan IKN berpotensi menjadi pemborosan, baik dari anggaran negara maupun beban keuangan masyarakat.
Ia menekankan bahwa negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan yang maksimal bagi rakyatnya.
“Jika pelayanan kepada masyarakat menjadi semakin sulit dan mahal, bisa dikatakan bahwa pemerintahan ini gagal dalam memenuhi kewajibannya. Pemerintah ingin efisiensi, tetapi masyarakat justru harus mengeluarkan biaya besar untuk dapat mengakses pusat pemerintahan di IKN,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti dampak perpindahan pegawai negeri sipil (PNS) dan pekerja swasta ke IKN.
Diperkirakan, sekitar 2-3 juta pegawai akan bekerja di IKN.
Ketika musim liburan tiba, mereka akan pulang ke daerah asalnya, yang akan semakin membebani sistem transportasi.
Meskipun mengkritisi proyek ini, Bambang Haryo mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan konsep dual capital, di mana IKN berfungsi sebagai ibu kota kedua yang melengkapi Jakarta, bukan menggantikannya secara penuh.
“IKN sebaiknya menjadi pendamping Jakarta dalam melayani masyarakat, terutama bagi wilayah Indonesia bagian timur. Saya sudah menyampaikan hal ini kepada Prof. Bambang Susantono tahun lalu ketika beliau masih menjabat sebagai Kepala Badan Otorita IKN,” pungkasnya.***