IKNTimes.Com – Saat ini, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, telah berganti nama menjadi Daerah Khusus Jakarta.
Namun, status Ibu Kota Negara masih tetap disandang oleh Jakarta. Setidaknya, hingga dengan selesainya kelengkapan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di Ibu Kota Nusantara pada 2028.
Ditengah-tengah ramainya perdebatan mengenai kelanjutan IKN sebagai dampak efisiensi anggaran yang tengah di gencarkan pemerintah, Jakarta jelas tidak boleh hilang dalam diskursus perbaikan dalam pembangunan.
Dilansir IKNTimes.Com dari Long Form Sensus Penduduk BPS, Jakarta yang memiliki total penududuk 10,6 juta jiwa per 2022 yang memiliki jumlah penduduk terbesar ke-6 di Indonesia.
Memiliki jumlah penduduk yang cukup besar, ternyata sebagian besar masih banyak yang menghadapi persoalan hidup yang cukup mendasar. Yakni, masalah perumahan dan ketimpangan.
Pertama, dari sisi luas rumah. Mengutip dari studi Sigmaphi (2024) yang menunjukkan bahwa per 2023, masyarakat memiliki rata-rata luas lantai rumah di Jakarta berdasarkan kelompok masyarakat cukup memprihatinkan.
Saat ini, rata-rata luas rumah untuk kelas atas di Jakarta masih diangka 316 meter persegi. Kemudian untuk kelas menengah seluas 127 meter persegi.
Lalu untuk kelompok menuju kelas menengah adalah 57 meter persegi. Sedangkan untuk yang rentan miskin hanya sebesar 42 meter persegi dan untuk yang miskin hanya mampu seluas 38 meter persegi.
Artinya, rata-rata luas lantai rumah kelas atas di Jakarta adalah delapan kali lipat lebih luas dari milik kelas miskin.
Dan kelas miskin serta rentan miskin di Jakarta harus berdesak-desakan di dalam kediaman yang tidak sampai lima puluh meter persegi itu.
Kedua, dari sisi jenis atap. Masih mengutip dari data BPS menunjukkan bahwa mayoritas jenis atap yang digunakan di Jakarta adalah jenis atap yang berbahaya untuk kesehatan.
Persentase Rumah Tangga Menurut Bahan Bangunan Utama Atap Rumah Terluas (2024) di Jakarta adalah beton 4,14 persen; genteng 37,65 persen; seng 3,48 persen; dan asbes 54,68 persen.
Data tersebut menunjukkan bahwa mayoritas rumah tangga di Jakarta, rumahnya beratapkan asbes.
Dan tidak perlu kita cek lebih dalam siapa pengguna asbes. Pasti lah kelas yang tidak beruntung.
Karena asbes memang termasuk jenis atap rumah yang harganya lebih terjangkau disbanding jenis atap lain.
Ironisnya, atap asbes dikategorikan oleh BPS sebagai jenis atap yang tidak layak. BPS menyatakan bahwa jenis atap yang dapat dikatakan layak adalah beton, genteng, seng, dan kayu atau sirap. Sedangkan asbes, tidak layak dan berbahaya.
Lebih lanjut menurut BPS, WHO (2024) telah mencatat bahwa seluruh bentuk asbes, telah menjadi penyebab beberapa jenis kanker dan penyakit pernapasan kronis.
Berbagai macam penelitian juga telah dengan jelas dan terang benderang menyebutkan bahwa asbes sangat berbahaya untuk kesehatan.
Lebih dari 30 negara beserta juga seluruh Uni Eropa, telah melarang penggunaan asbes. Bahkan asbes telah dilarang di Norwegia sejak 1984 (Asbestos and Silica Safety and Eradication Agency Australia, 2025).
Di saat 2024, atau empat puluh tahun berselang Asbes masih menjadi atap mayoritas rumah tangga di Jakarta.
Hal ini sangat serius, karena menyangkut aspek kesehatan dan hidup matinya rakyat.
Artinya, lebih dari separuh rumah tangga di Jakarta saat ini, masih menggunakan asbes sebagai atap rumah terluasnya. Dan mereka, tiap hari dibayangi oleh kanker yang mengintai.
Dan bahasan ini ternyata relatif tidak terlampau mengemuka dalam diskursus kebijakan publik sehari-hari.
Pemerintah yang meluncurkan program cek kesehatan gratis tiap ulang tahun, sudah sangat bagus.
Tetapi akan lebih bagus lagi jika terdapat langkah konkret dalam upaya terkait lainnya seperti pembenahan atap yang berbahaya bagi kesehatan.
Ketiga, indeks gini yang menggambarkan kondisi ketimpangan di Jakarta, ternyata merangkat naik secara cepat. Indeks gini Jakarta pada September 2018 adalah sebesar 0,390.
Lalu pada September 2024 adalah sebesar 0,431, dan sekaligus menjadi daerah dengan indeks gini tertinggi di Indonesia.
Hanya dalam tempo waktu enam tahun, indeks gini Jakarta mengalami kenaikan hingga sepuluh persen. Betapa mengerikan ketimpangan di Jakarta.
Bayangkan menjadi warga miskin di Jakarta. Luas rumah hanya tiga puluhan meter, atapnya asbes yang berbahaya bagi kesehatan, dan setiap hari harus hidup di tengah ketimpangan yang menyakitkan dan memuakkan fisik, hati, dan pikiran.
Oleh karena itu, Jakarta tidak boleh dilupakan begitu saja.
Meski saat ini seluruh mata tertuju pada perdebatan mengenai IKN, tetapi persoalan-persoalan yang “ditinggal” di Jakarta, tidak boleh dibiarkan begitu saja.
Harus ada langkah konkret dari pemerintah pusat, juga provinsi Jakarta, untuk bersama-sama memperbaiki hajat hidup rakyat Jakarta secara keseluruhan.***